Pada suatu hari,
di sebuah perkampungan di daerah Lampung, Indonesia, hiduplah sepasang
suami-istri bersama dengan tujuh putrinya. Untuk menghidupi keluarganya,
sang Ayah mencari kayu bakar di hutan dan menjualnya ke pasar. Namun,
hasil yang diperoleh tidak cukup untuk mereka makan bersama. Mereka
tidak pernah makan sampai kenyang. Agar bisa makan kenyang tanpa
diganggu oleh anak-anaknya, sang Ayah dan sang Ibu sering menyisihkan
makanan untuk mereka makan pada malam harinya, di saat ketujuh putrinya
sedang tertidur lelap.
Pada
suatu malam, sang Ayah dan sang Ibu sedang asyik menikmati makan malam
berdua. Tanpa disadarinya, si Bungsu terbangun dan melihat mereka sedang
makan. Si Bungsu pun segera membangunkan kakaknya yang sedang tertidur
pulas.
“Kakak-kakak...!” ucap si Bungsu dengan pelan.
Keenam
kakaknya pun terbangun. Saat melihat kedua orang tuanya makan, mereka
pun ikut makan, sehingga membuat kedua orang tua mereka tidak kenyang.
Hal itu membuat mereka kesal dan berniat untuk membuang ketujuh
putrinya.
Pada
suatu malam, sepasang suami-istri itu bermusyawarah untuk membuang
ketujuh putrinya ke hutan yang jauh dari perkampungan. Namun, lagi-lagi
si Bungsu terbangun dan mengetahui rencana mereka. Secara diam-diam, si
Bungsu pun menyiapkan buah kemiri yang banyak untuk menandai jalan yang
akan mereka tempuh saat menuju ke tengah hutan, sehingga ia bersama
kakaknya dapat mengetahui jalan pulang ke rumah.
Keesokan
harinya, sang Ayah dan sang Ibu mengajak ketujuh putrinya ke hutan
dengan alasan untuk membantu mereka mencari kayu bakar. Setibanya di
hutan, diam-diam sang Ayah meminta kawanan kera agar menyahut jika
anak-anaknya memanggilnya, dan kepada kawanan burung pagut agar
mematuk-matuk pohon agar anak-anak mereka mengira ayah dan ibunya masih
berada di dalam hutan. Ketika ketujuh bersaudara itu sedang asyik
mengumpulkan kayu bakar, sang Ayah mengajak istrinya untuk meninggalkan
mereka secara diam-diam.
“Istriku! Ayo kita tinggal hutan ini selagi mereka sibuk mengumpulkan kayu bakar,” bisik sang Ayah ke istrinya.
Akhirnya,
mereka meninggalkan hutan itu tanpa sepengetahuan ketujuh putrinya.
Beberapa saat kemudian, terdengarlah suara ketujuh putrinya memanggil.
“Ayah... Ibu...! Kalian di mana?” teriak ketujuh anak itu serentak.
Mendengar
teriakan itu, kawanan kera pun menyahut dan burung pugut mematuk-matuk
pohon. Ketujuh anak itu pun kembali melanjutkan pekerjaannya, karena
mengira ayah dan ibu mereka masih berada di hutan itu. Kawanan kera dan
burung pagut tersebut terus menyahut dan mematuk pohon. Lama-kelamaan
mereka pun kesal dan capek. Ketika ketujuh anak itu kembali berteriak
memanggil kedua orang tua meraka, kawanan kera dan burung pagut tersebut
hanya diam. Pada saat itulah, ketujuh anak tersebut menyadari bahwa
kedua orang tua mereka telah pergi meninggalkan mereka. Anak yang sulung
pun bingung, karena tidak mengetahui jalan pulang ke rumah.
“Adik-adikku! Apakah di antara kalian ada yang masih ingat jalan untuk pulang ke rumah?” tanya si Sulung.
“Saya, Kak!” sahut si Bungsu dengan sigap.
“Bagaimana mungkin kamu bisa mengingat jalan pulang, Bungsu? Bukankah hutan ini sangat lebat?” tanya si Sulung.
“Tenang,
Kak! Adik sudah menandai jalan dari rumah sampai ke hutan ini dengan
kemiri. Kita tinggal mengikuti arah kemiri yang bertebaran di jalan yang
telah kita lalui,” ujar si Bungsu.
“Wah... kamu memang cerdas, Adikku!” puji si Sulung sambil tersenyum.
Ketujuh
anak itu pun menyusuri jalan yang telah ditandai dengan kemiri oleh si
Bungsu. Akhirnya, mereka pun sampai di rumah. Ketika masuk ke rumah,
mereka mendapati kedua orang tua mereka sedang makan. Tanpa diajak,
mereka segera ikut makan, sehingga kedua orang tuanya kembali merasa
tidak kenyang. Sang Ayah dan sang Ibu pun bertambah kesal. Kehadiran
ketujuh putrinya tersebut benar-benar membuat mereka resah.
Beberapa
hari kemudian, pasangan suami-istri itu kembali berencana untuk
membuang ketujuh putrinya ke tengah hutan. Namun, rencana mereka kembali
diketahui oleh putri bungsunya. Ketika mereka berangkat ke hutan, si
Bungsu membawa biji jagung untuk menandai jalan yang mereka lalui.
Sesampainya di hutan, seperti biasanya kawanan kera menyahut-nyahut dan
burung pagut mematuk-matuk pohon, dan pada saat itulah sang Ayah dan
sang Ibu meninggalkan anak-anaknya.
Ketika
ketujuh bersaudara itu kembali berteriak memanggil kedua orang tuanya,
kawanan kera dan burung pagut tersebut hanya diam. Akhirnya, ketujuh
anak itu sadar bahwa orang tua mereka telah meninggalkan mereka. Namun
sial bagi ketujuh anak tersebut, mereka tidak mengetahui jalan pulang ke
rumah, karena biji jagung yang telah ditebar oleh si Bungsu di jalan
habis dimakan burung. Akhirnya mereka pun tersesat di tengah hutan.
Ketujuh
anak bersaudara tersebut berjalan mengikuti ke mana arah kaki mereka
melangkah. Setelah beberapa lama berjalan, mereka pun sampai di sebuah
ladang yang dihuni oleh dua raksasa suami-istri. Saat itu, mereka
melihat kedua raksasa itu sedang mandi di sungai yang terletak di
pinggir ladang.
“Hai, tampaknya raksasa itu jahat. Mereka pasti akan memangsa kita jika melihat kita ada di sini,” kata si Sulung.
“Apa yang harus kita lakukan?” tanya anak yang kedua.
“Tenang, Kak! Adik punya cara untuk menaklukkan raksasa itu,” sahut si Bungsu.
“Bagaimana caranya, Bungsu?” tanya si Sulung.
"Adik
akan membuat air sungai itu menjadi gatal dengan kolang-kaling,
sehingga tubuh kedua raksasa itu akan terasa gatal-gatal. Ketika itu,
mereka pasti akan berlari ke gubuknya. Tapi sebelumnya, kalian harus
melepas tali gubuk itu dan membuat perapian di bawahnya. Nah, ketika
kedua rakasa itu menaiki gubuk itu, mereka pasti akan jatuh ke dalam api,” jelas si Bungsu.
Setelah
mendengar petunjuk si Bungsu, keenam kakaknya itu segera melepas tali
gubuk itu dan membuat perapian di bawahnya. Setelah mereka selesai
menjalankan tugas, si Bungsu segera mengambil kolang-kaling lalu
menggosok-gosokkannya di hulu sungai. Tak berapa lama kemudian, kedua
raksasa yang sedang asyik mandi tersebut tiba-tiba merasakan tubuhnya
gatal-gatal. Karena tidak tahan menahan rasa gatal, mereka pun berlari
menuju ke gubuknya. Tak ayal lagi, ketika menaiki gubuknya, mereka pun
terjatuh ke dalam perapian hingga tewas.
Akhirnya,
ketujuh anak bersaudara itu pun memutuskan untuk tinggal di daerah itu.
Mereka membuat tujuh gubuk dan membagi ladang milik raksasa itu menjadi
tujuh bagian. Mereka menanam padi dan bunga-bunga yang harum baunya di
ladang masing-masing. Saat tanaman bunga mereka berbunga, ladang mereka
kerap didatangi oleh kenui (sejenis burung elang yang berbadan
besar). Burung itu ingin membuat sarang dan bertelur di ladang mereka.
Dari ketujuh bersaudara tersebut, hanya si Bungsu yang mengizinkan
burung itu bersarang di ladang bunganya. Mendapat izin dari si Bungsu, kenui pun segera membuat sarang. Setelah bertelur, burung kenui itu pergi dan tidak pernah kembali lagi.
Pada
suatu hari, sepulang dari ladangnya, si Bungsu melihat asap mengepul di
dalam gubuknya. Alangkah terkejutnya ia ketika masuk ke dalam gubuknya.
Ia melihat seorang pemuda tampan sedang menanak nasi untuknya.
“Maaf, Tuan! Anda siapa dan berasal dari mana?” tanya si Bungsu.
Pemuda itu pun menceritakan asal-usulnya bahwa dirinya keluar dari telur kenui.
Akhirnya, mereka pun berkenalan dan saling menyukai. Beberapa bulan
kemudian, mereka menikah dan hidup bahagia. Rupanya, pernikahan si
Bungsu dengan pemuda itu membuat keenam saudaranya iri dan berniat untuk
mencelakai adiknya.
Pada
suatu hari, ketika si Bungsu sedang mencuci pakaian di tepi sungai,
keenam saudaranya mendorongnya ke sungai. Si Bungsu pun hanyut terbawa
arus dan kemudian ditelan oleh seekor ikan besar. Karena kekenyangan,
ikan besar itu beristirahat di tepi sungai. Pada saat itu, seorang nenek
yang sedang mandi di tepi sungai melihatnya. Tanpa berpikir panjang,
sang Nenek pun segera mengambil goloknya dan menghujamkannya ke tubuh
ikan itu. Sungguh ajaib, goloknya tidak dapat melukainya. Karena kesal,
sang Nenek pun beristirahat di bawah sebuah pohon sambil berpikir
mencari cara agar bisa menangkap ikan itu. Saat sedang asyik
beristirahat, tiba-tiba ia mendengar seekor burung bernyanyi.
“Bolidang bolidangi pabeli iwa balak,” demikian nyanyian burung itu.
Mulanya,
sang Nenek tidak mengerti arti syair lagu yang dinyanyikan burung itu.
Setelah menyimak secara seksama, akhirnya ia pun mengerti bahwa untuk
memotong ikan itu harus menggunakan daun belidang. Tanpa berpikir panjang, sang Nenek segera mengambil daun belidang
yang banyak terdapat di tepi sungai. Dengan daun belidang itu, ia pun
berhasil memotong-motong daging ikan itu. Betapa terkejutnya ia ketika
melihat seorang gadis cantik yang masih hidup keluar dari tubuh ikan
itu.
“Hai, Gadis cantik! Kamu siapa dan kenapa bisa berada di perut ikan ini?” tanya nenek itu heran.
Si
Bungsu pun menceritakan semua peristiwa yang dialaminya hingga ia bisa
berada dalam perut ikan itu. Sang Nenek sangat terharu mendengar cerita
si Bungsu. Karena iba, sang Nenek pun menjadikan si Bungsu sebagai anak
angkatnya. Sejak itu, si Bungsu tinggal bersama nenek itu.
Sementara
itu di tempat lain, suami si Bungsu kebingungan mencari istrinya. Ia
sudah menanyai keenam saudara istrinya, namun tak seorang pun yang mau
memberitahukan keberadaan istrinya. Akhirnya, ia memutuskan untuk pergi
mencari istrinya dengan menyusuri tepi sungai. Setelah berbulan-bulan
berjalan, akhirnya ia menemukan sebuah gubuk di tepi sungai. Ia pun
menghampiri gubuk itu untuk menanyakan keberadaan istrinya kepada si
pemilik gubuk.
“Permisi, apakah ada orang di dalam?” teriak suami si Bungsu dari luar gubuk.
Tak berapa lama kemudian, tampaklah seorang nenek sedang membuka pintu. Setelah pintu terbuka, nenek itu bertanya kepadanya.
“Ada yang bisa Nenek bantu, Anak Muda?” tanya nenek itu.
Suami
si Bungsu pun menceritakan tentang pengembaraannya mencari istrinya
yang hilang. Si Bungsu yang mendengar cerita itu dari dalam gubuk
menitikkan air mata, karena terharu melihat kesetiaan suaminya. Nenek
itu kemudian memberitahu kepada laki-laki itu bahwa di dalam gubuknya
ada seorang wanita cantik yang ditemukan dari perut ikan besar beberapa
bulan yang lalu.
“Anak
Muda! Nenek mempunyai seorang wanita cantik di dalam gubuk ini. Cobalah
lihat, barangkali dialah istrimu yang kamu cari itu!” ujar nenek itu.
Sang
Nenek pun memanggil si Bungsu agar keluar dari gubuk. Alangkah terkejut
dan bahagianya laki-laki itu saat melihat wanita yang keluar dari gubuk
itu adalah istrinya. Tanpa ragu-ragu, ia pun segera memeluk istrinya,
dan si Bungsu pun membalas pelukan suaminya dengan erat. Sesaat, suasana
di gubuk itu menjadi hening. Tak terasa, air mata si Nenek pun
bercucuran karena terharu melihat anak angkatnya bisa bertemu kembali
dengan suaminya. Begitu pula suami si Bungsu, ia sangat bahagia karena
telah menemukan kembali istrinya. Sebelum membawa pulang istrinya, suami
si Bungsu tidak lupa berterima kasih kepada si Nenek, karena telah
menyelamatkan nyawa istrinya.
“Terima kasih, Nek! Nenek telah merawat istriku dengan baik,” ucap suami si Bungsu.
Setelah
itu, sepasang suami-istri itu berpamitan kepada si Nenek. Sesampainya
mereka di gubuk, keenam kakaknya datang meminta maaf kepada si Bungsu.
Si Bungsu memaafkan mereka, karena sejak awal ia tidak pernah merasa
dendam, meskipun keenam kakaknya telah mencelakainya. Sejak itu, si
Bungsu hidup berbahagia bersama suaminya dan hidup rukun bersama keenam
kakaknya.
-------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Demikian cerita Si Bungsu dari
daerah Lampung, Indonesia. Cerita rakyat yang berbentuk dongeng di atas
memberi pelajaran kepada kita bahwa orang yang suka menolong, akan
senantiasa mendapat pertolongan dari Tuhan. Hal ini ditunjukkan oleh
perilaku si Bungsu yang telah menolong burung kenui dengan
mengizinkannya bersarang dan bertelur di ladang bunganya. Karena sifat
penolongnya itu, Tuhan pun memberinya seorang suami yang tampan dan
setia. Selain itu, ketika si Bungsu hanyut di sungai dan ditelan oleh
ikan besar, pertolongan Tuhan pun datang kepadanya melalui seorang
nenek.
Pelajaran
lain yang dapat dipetik dari cerita di atas adalah bahwa sifat pemaaf
dapat menjaga kerukunan dan menjauhkan munculnya bibit permusuhan
antar-sesama. Hal ini tampak pada sikap si Bungsu yang dengan rendah
hati dan ikhlas mau memaafkan keenam kakaknya yang telah mengianiayanya.
SUMBER : http://ceritarakyatnusantara.com/id/folklore/155-Si-Bungsu-
0 komentar:
Posting Komentar