RATIONAL
EMOTIVE THERAPY (RET)
Rational
Emotive Therapy (terapi rasional emotif) adalah sistem psikoterapi yang
mengajari individu bagaimana sistem keyakinannya menentukan yang dirasakan dan
dilakukannya pada berbagai peristiwa dalam kehidupan. Penekanan terapi ini pada
cara berpikir mempengaruhi perasaan, sehingga termasuk dalam terapi kognitif. Rational Emotive Therapy atau Teori Rasional
Emotif mulai dikembangan di Amerika pada tahun 1960-an oleh Albert Ellis,
seorang Doktor dan Ahli dalam Psikologi Terapeutik yang juga seorang
eksistensialis dan juga seorang Neo Freudian. Teori ini dikembangkanya ketika
ia dalam praktek terapi mendapatkan bahwa sistem psikoanalisis ini mempunyai
kelemahan-kelemahan secara teoritis. Teori Rasional Emotif ini merupakan
sintesis baru dari Behavior Therapy
yang klasik (termasuk Skinnerian Reinforcement dan Wolpein Systematic Desensitization). Rational Emotive Therapy menolak pandangan aliran psikoanalisis
yang berpandangan bahwa peristiwa dan pengalaman individu menyebabkan
terjadinya gangguan emosional. Menurut Ellis, bukanlah pengalaman atau
peristiwa eksternal yang menimbulkan emosional, akan tetapi tergantung kepada
pemahaman yang diberikan terhadap peristiwa atau pengalaman itu. Gangguan emosi
terjadi disebabkan pikiran-pikiran seorang yang bersifat irrasional terhadap
peristiwa dan pengalaman yang dilaluinya.
1.
Konsep
Utama Rational Emotive Therapy
Rational
emotive therapy adalah aliran psikoterapi yang berlandaskan
asumsi bahwa manusia dilahirkan dengan potensi, baik untuk berfikir rasional
dan jujur maupun untuk berfikir irasional dan jahat. RET menekankan bahwa
manusia berfikir, beremosi, dan bertindak secara stimultan. Jarang manusia
beremosi tanpa berfikir, sebab perasaan-perasaan biasanya dicetuskan oleh
persepsi atas suatu situasi yang spesifik. Ellis menyatakan bahwa bila
individu-individu tidak dikondisikan untuk berfikir dan merasa dengan cara
tertentu, maka mereka cenderung untuk bertingkah laku dengan cara demikian
meskipun mereka menyadari bahwa tingkah laku mereka itu menolak atau meniadakan
diri.
2.
Fungsi
dan Peranan Terapis
Terapis
memiliki tugas khusus, yaitu, Langkah pertama adalah menunjukan kepada klien
bahwa mereka telah menggunakan banyak hal yang “seharusnya” irasional. Langkah
kedua terapis membawa klien melampaui tahap kesadaran. Langkah ketiga, menolong
mereka memodifikasi pikiran mereka dan meninggalkan ide mereka yang irasional.
Keempat yaitu menantang klien untuk mengembangkan falsafah hidup yang rasional
sehingga di masa depan mereka bisa menghindari diri untuk tidak menjadi korban
dari keyakinan irasional yang lain.
3.
Tujuan
Rational Emotive Therapy
Ellis
mengatakan tujuan utama terapi ini adalah untuk membantu individu-individu
menanggulangi problem-problem perilaku dan emosi mereka untuk membawa
mereka kekehidupan yang lebih bahagia, lebih sehat, dan lebih terpenuhi. Secara
sederhana dan umum tujuan terapi ini adalah membantu klien untuk membebaskan diri
dari gagasan-gagasan yang tidak logis dan untuk belajar gagasan-gagasan yang
logis serta realisitik sebagai penggantinya. Secara terperinci terapi ini
bertujuan untuk:
1. Memperbaiki dan mengubah segala
perilaku dan keyakinan serta pandangan yang irasional dan tidak logis menjadi
rasional dan logis agar klien dapat mengembangkan dirinya.
2. Menghilangkan gangguan emosional
yang merusak seperti rasa takut, rasa bersalah, rasa berdosa, rasa cemas,
merasa was-was, dan rasa marah.
3. Untuk membangun Self Interest (minat), Self
Direction (pengendalian/ pengarahan diri), Tolerance (toleransi), Acceptance
of Uncertainty (kesediaan menerima ketidakpastian), Fleksibel, Commitment (komitmen terhadap sesuatu), Scientific Thinking (berpikir logis), Risk Taking (keberanian mengambil
resiko), dan Self Acceptance
(penerimaan diri) klien.
4. Menunjukkan dan menyadarkan klien
bahwa cara pikir yang tidak logis itulah penyebab gangguan emosionalnya.
4.
Teori
A-B-C tentang Kepibadian
Rational Emotive Therapy dimulai dengan ABC:
a. Activating
experiences atau
pengalaman-pengalaman pemicu, seperti kesulitan-kesulitan keluarga,
kendala-kendala pekerjaan, trauma-trauma masa kecil, dan hal-hal lain yang kita
anggap sebagai penyebab ketidak bahagiaan.
b. Beliefs, yaitu keyakinan-keyakinan, terutama
yang bersifat irasional dan merusak diri sendiri yang merupakan sumber
ketidakbahagiaan kita.
c. Consequence, yaitu konsekuensi-konsekuensi
berupa gejala neurotik dan emosi-emosi negatif seperti panik, dendam dan amarah
karena depresi yang bersumber dari keyakinan-keyakinan kita yang keliru.
Ellis menambahkan
D dan E untuk rumus ABC ini. Seorang terapis harus melawan (dispute; D) keyakinan-keyakinan
irasional itu agar kliennya bisa menikmati dampak-dampak (effects; E) psi-kologis positif dari keyakinan-keyakinan yang
rasional.
Dalam pelaksanaan Rational Emotive Therapy ini, terapis
harus benar-benar mengenal dirinya sendiri dengan baik, sehingga ia bisa
memisahkan falsafah hidupnya dan tindak memaksakan keyakinannya pada klien.
Disamping itu, terapis juga harus mengetahui timing yang tepat untuk memberikan
dorongan pada klien. Terapis harus menghindari terjadinya indoktrinasi atas
diri klien. Yang perlu dilakukan terapis hanyalah menyampaikan kepada klien apa
yang salah dan bagaimana klien harus mengubahnya menjadi benar.
Ellis juga
menambahkan bahwa secara biologis manusia memang “diprogram” untuk selalu
menanggapi “pengondisian-pengondisian” semacam ini. Keyakinan-keyakinan
irasional tadi biasanya berbentuk pernyataan-pernyataan absolut. Ada beberapa
jenis “pikiran¬-pikiran yang keliru” yang biasanya diterapkan orang, di
antaranya:
a. Mengabaikan hal-hal yang positif
b. Terpaku pada yang negatif
c. Terlalu cepat menggeneralisasi
5.
Teknik-Teknik
Rational Emotive Therapy
a.
Cognitive
Methods
RET
sangat bergantung pada pemikiran, berselisih, berdebat, menantang, menafsirkan,
menjelaskan, dan pengajaran. Berikut adalah beberapa teknik kognitif yang dapat
dilakukan oleh terapis:
1) Disputing of Irrational Beliefs
Metode
kognitif yang paling umum dari RET terdiri dari aktif/direktif menentang
keyakinan irasional klien. Terapis menunjukkan klien bahwa mereka terganggu
bukan karena peristiwa atau situasi tertentu tetapi karena persepsi klien
tentang peristiwa dan karena sifat dan pernyataan terhadap diri mereka. Terapis
menantang keyakinan irasional dengan mengajukan pertanyaan
seperti: dimanakah bukti keyakinan Anda? mengapa hidup anda bisa
mengerikan jika hidup tidak seperti yang Anda inginkan?
2) Cognitive Homework
Klien
diberikan tugas, yang merupakan cara untuk melacak keharusan absolut yang
merupakan bagian dari diri mereka. Seperti orang dengan bakat akting, namun
takut berada di depan banyak orang karena takut gagal, orang tersebut diminta
latihan melakukan sedikit akting di panggung, lalu terapis memberi pesan kepada
orang tersebut untuk mengatakan sesuatu seperti: "saya bisa akting, saya
akan melakukan yang terbaik yang saya dapat lakukan, tidak ada orang yang
seperti saya, dan ini bukanlah akhir dari dunia."
3) Client's Disputing of an Irrational
Belief
Dengan
teknik ini, klien melakukan satu hal yang menjadi irasionalitas utama setiap
hari selama sedikitnya sepuluh menit. Klien melakukan hal tersebut sampai
keyakinan irasional tidak lagi berusaha ditahan, atau sampai berkurang.
4) Bibliotherapy
Meminta
klien untuk membaca literatur rasional-emotif, yang dirancang untuk membantu
mereka dalam proses restrukturisasi kognitif.
5) Employing New Self-Statements
Setelah
klien belajar untuk melawan keyakinan merusak diri sendiri, kemudian melakukan
pengajaran yang mengarah ke pernyataan rasional dan asumsi yang konstruktif.
b.
Emotive
Techniques
Secara
emotif, terapis menggunakan berbagai prosedur, termasuk penerimaan tanpa
syarat, rasional-emotif bermain peran, modeling, self-statements, citra
rasional-emotif, dan latihan menyerang rasa malu. Klien diajarkan nilai
penerimaan diri tanpa syarat. Meskipun perilaku mereka mungkin sulit untuk
menerima, mereka sebagai pribadi memiliki nilai intrinsik. Mereka diajarkan
bagaimana merusak itu adalah untuk menempatkan diri merasa kekurangan. Salah
satu teknik utama mengajar klien penerimaan diri adalah modeling.
c.
Behavioral
Techniques
Praktisi
biasanya menggunakan operant conditioning, self-management principles,
systematic desensitization, instrumental conditioning, biofeedback, teknik
relaksasi, dan modeling. Klien benar-benar melakukan hal-hal baru dan sulit,
dan dengan cara ini mereka menempatkan pengetahuan mereka dengan bentuk
tindakan nyata.
BEHAVIORAL THERAPY (TERAPI TINGKAH LAKU)
Terapi tingkah laku adalah
penerapan aneka ragam teknik dan prosedur yang berakar pada berbagai teori
tentang belajar. Terapi ini dipopulerkan oleh B.F Skinner, dimana terapi ini
menyertakan penerapan yang sistematis prinsip-prinsip belajar pada pengubahan
tingkah laku ke arah cara-cara yang lebih adaptif. Berlandaskan teori belajar,
modifikasi tingkah laku dan terapi tingkah laku adalah pendekatan-pendekatan
terhadap konseling dan psikoterapi yang berurusan dengan pengubahan tingkah
laku. Daripada memandang terapi tingkah laku seperti pendekatan terapi yang
dipersatukan dan tunggal, lebih tepat menganggapnya sebagai terapi-terapi
tingkah laku yang mencakup berbagai prinsip dan metode yang belum dipadukan ke
dalam suatu sistem yang dipersatukan. Dimana perkembangan terapi tingkah laku
ini adalah sejak tahun 1950-an.
Terapi behavioral menekankan kepada
perilaku klien disini dan saat ini. Dalam konsep behavioral, perilaku manusia
merupakan hasil dari proses belajar sehingga dapat diubah dengan memanipulasi
kondisi-kondisi belajar. Asumsinya bahwa gangguan tingkah laku itu diperoleh
melalui hasil belajar yang keliru dan karenanya harus diubah melalui proses
belajar, sehingga dapat lebih sesuai.
1. Konsep
- Konsep Utama Behavioral Therapy
1.
Pandangan Tentang Sifat Manusia
Behaviorisme adalah suatu pandangan ilmiah
tentang tingkah laku manusia. Behavior
ditandai oleh sikap membatasi metode-metode dan prosedur-prosedur pada data
yang dapat diamati. Pendekatan behavioristik tidak menguraikan asumsi-asumsi
filosofis tertentu tentang manusia secara langsung. Setiap orang dipandang
memiliki kecenderungan-kecenderungan positif dan negatif yang sama. Manusia
pada dasarnya dibentuk dan ditentukan oleh lingkungan sosial budayanya. Segenap
tingkah laku manusia itu dipelajari. Pandangan para behavioris tentang manusia
seringkali didistorsi oleh penguraian yang terlampau menyederhanakan tentang
individu sebagai budak nasib yang tak berdaya. Terapi tingkah laku kontemporer
bukanlah suatu pendekatan yang sepenuhnya deterministik dan mekanistik, yang
menyingkirkan potensi para klien untuk memilih. Hanya “para behavioris yang
radikal” yang menyingkirkan kemungkinan menentukan diri dari individu. Nye
(1975) dalam pembahasan tentang behaviorisme radikal nya B.F Skinner,
menyebutkan bahwa para behavioris radikal menekankan manusia sebagai
dikendalikan oleh kondisi-kondisi lingkungan.
2.
Pengondisian Klasik Versus Pengondisian
Operan
Pengondisian klasik disebut pengkondisian
responden, berasal dari karya Pavlov, pengondisian klasik melibatkan stimulus
tak berkondisi (UCS) yang secara otomotis mengembangkan respon berkondisi (CR)
yang sama dengan respon tak berkondisi (UCR) apabila diasosiasikan dengan
stimulus tak berkondisi. Jika UCS dipasangkan dengan sutau stimulus berkondisi
(CS), lambat launCS mengarahkan kemunculan CR. Baik karya Salter maupun Wolpe
sebagian besar berasal dari model pengondisian klasik. Teknik-teknik yang
spesifik seperti desensitisasi sistematik dan terapi aversi berlandaskan
pengondisian klasik.
Pengondisian operan, satu aliran utama
lainnya dari pendekatan terapi yang berlandaskan teori belajar, melibatkan
pemberian ganjaran kepada individu atas pemunculan tingkah lakunya (yang
diharapkan) pada saat tingkah laku itu muncul.
2.
Tujuan Behavioral Therapy
Tujuan umum terapi tingkah laku adalah
menciptakan kondisi-kondisi baru bagi proses belajar. Dasar alasannya ialah
bahwa segenap tingkah laku laku adalah dipelajari (learned), termasuk
tingkah laku yang maladaptif. Jika tingkah laku neurotik learned, maka ia bisa
unlearned, dan tingkah laku yang lebih efektif bisa diperoleh. Terapi tingkah
laku pada hakikatnya terdiri atas proses penghapusan hasil belajar yang tidak adaptif
dan pemberian pengalaman-pengalaman belajar yang didalamnya terdapat
respon-respon yang layak, namun belum dipelajari.
Menurut beberapa ahli, terdapat banyak
kesalah pahaman dalam menjelaskan tujuan-tujuan terapi tingkah laku, namun
Krumboltz, dan Thorensen telah mengembangkan tiga kriteria bagi perumusan
tujuan yang bisa diterima dalam konseling tingkah laku yaitu, tujuan yang
dirumuskan haruslah tujuan diinginkan oleh klien, konselor harus bersedia membantu
klien dalam mencapai tujuan, dan harus terdapat kemungkinan untuk menaksir
sejauh mana klien bisa mencapai tujuannya.
3. Fungsi
dan Peran Terapis
Terapis tingkah laku harus memainkan peran
aktif dan direktif dalam pemberian treatment, yakni terapis menerapkan
pengetahuan ilmiah pada pencarian pemecahan masalah-masalah manusia, para
kliennya. Terapi tingkah laku secara khas berfungsi sebagai guru, pengarah, dan
ahli dalam mendiagnosis tingkah laku yang maladaptif dan dalam menentukan
prosedur-prosedur penyembuhan yang diharapkan, mengarah pada tingkah laku yang
baru dan adjustive.
4. Teknik
- Teknik Behavioral Therapy
Untuk
mencapai tujuan dalam proses terapi diperlukan teknik-teknik yang digunakan
untuk pengubahan perilaku. Beberapa tekniknya sebagai berikut:
1.
Desensitisasi Sistematis
Desensitisasi
sistematis merupakan teknik relaksasi yang digunakan untuk menghapus perilaku
yang diperkuat secara negatif, biasanya berupa kecemasan, dan menyertakan
respon yang berlawanan dengan perilaku yang akan dihilangkan dengan cara
memberikan stimulus yang secara perlahan dan santai.
2.
Terapi Implosif
Terapi
Implosif dikembangkan atas dasar pandangan tentang seseorang yang secara
berulang-ulang dihadapkan pada situasi kecemasan dan konsekuensi-konsekuensi
yang menakutkan ternyata tidak muncul, maka kecemasan akan hilang. Atas dasar
itu klien diminta untuk membayangkan stimulus-stimulus yang menimbulkan
kecemasan.
3.
Latihan Perilaku Asertif
Latihan
perilaku asertif digunakan untuk melatih individu yang mengalami kesulitan
untuk menyatakan dirinya bahwa tindakannya layak atau benar.
4.
Pengkondisian Aversi
Teknik
pengkondisian diri digunakan untuk meredakan perilaku simptomatik dengan cara
menyajikan stimulus yang tidak menyenangkan, sehingga perilaku yang tidak
dikehendaki tersebut terhambat kemunculannya.
5.
Pembentukan Perilaku Model
Perilaku
model digunakan untuk membentuk perilaku baru pada klien, memperkuat perilaku
yang sudah terbentuk dengan menunjukkan kepada klien tentang perilaku model,
baik menggunakan model audio, model fisik, atau lainnya yang dapat diamati dan dipahami
jenis perilaku yang akan dicontoh.
6.
Kontrak Perilaku
Kontak
perilaku adalah persetujuan antara dua orang atau lebih (konselor dan klien)
untuk mengubah perilaku tertentu pada klien. Dalam terapi ini konselor
memberikan ganjaran positif yang penting dibandingkan memberikan hukuman jika
kontrak tidak berhasil.
7.
Token Ekonomi
Token
ekonomi dapat digunakan untuk membentuk tingkah laku apabila persetujuan dan
pemerkuat yang tidak bisa diraba lainnya tidak memberikan pengaruh. Dalam token
ekonomi, tingkah laku yang layak bisa diperkuat dengan perkuatan yang nyata
yang nantinya bisa ditukarkan dengan objek atau hak istimewa yang diinginkan.
Tujuan prosedur ini adalah mengubah motivasi yang ekstrinsik menjadi motivasi
yang intrinsik. Diharapkan bahwa perolehan tingkah laku yang diinginkan
akhirnya dengan sendirinya akan menjadi cukup mengganjar untuk memelihara
tingkah laku yang baru.
TERAPI KELOMPOK (GROUP
THERAPY)
Terapi kelompok
telah berkembang sejak 1800-an di Eropa dan mendapat dukungan konseptual dan
operasional dari sosiologi, psikologi, filsafat dan pendidikan. Menurut Guze,
Richeimer dan Siegel (1997), terapi kelompok merupakan setiap pengumpulan dari
orang yang lazimnya bertemu secara teratur, biasanya dengan pemimpin yang
terlatih, untuk menangani masalah psikologik atau pertumbuhan pribadi mereka.
Terapi kelompok juga biasa disebut group
therapy. Terapi kelompok membentuk perubahan terhadap klien,
khususnya perubahan perilaku di dalam kelompok. Perubahan diarahkan kepada
segala bentuk perilaku atau kebiasaan dari klien yang dianggap tidak bisa
diterima atau tidak diharapkan oleh kelompoknya. Terapi kelompok biasanya
terdiri dari 5-12 anggota (bergantung pada tipenya). Terapi kelompok dapat
berlangsung beberapa minggu, beberapa bulan atau beberapa tahun sesuai sesuai
kebutuhan dan biasanya dilakukan seminggu sekali.
1. Konsep Dasar Terapi Kelompok
Konsep terapi
kelompok (Group Psychotheraphy)
menurut Shertzer dan stone di definisikan sebagai aplikasi prinsip-prinsip
terapeutik ke dalam dua atau lebih individu secara bersamaan untuk
mengklarifikasi konflik psikologis individu sehingga individu dapat hidup
secara normal.
Fokus dari terapi kelompok adalah pada terapi yang
dilakukan pada dinamika kelompok dan kemampuan interpesonal, bukan pada
perubahan kepribadian dasar. Terapi kelompok lebih berfokus pada perbaikan dan
rekonstruksi sifat dari pada pengelolaan masalah perkembangan yang sedang
terjadi. Karena populasi klien yang cenderung menderita masalah emosional yang
lebih parah, penawaran psikoterapi kelompok dengan kesulitan masalalulah yang menghambat
fungsi saat ini.
Terapi kelompok biasanya mencoba untuk membantu
peserta untuk mengalami kembali situasi yang menyakitkan dan untuk
mengekspresikan perasaan secara intensif, seperti kebencian intens. karena ini
pengalaman traumatis yang muncul kembali dalam kelompok, peserta mendapatkan
wawasan tentang bagaimana masalalu mereka yang penuh dinamika secara sadar
mengganggu fungsi kelompok. Terapi ini cenderung dilakukan dengan durasi yang
relatif lama. Terapi kelompok dapat didasarkan pada berbagai model terapi
termasuk psikoanalisis, behavior, dan kerangka kerja fenomenologis.
2. Tujuan Terapi Kelompok
Tujuan utama
dari terapi ini adalah perkembangan pribadi atau aktualisasi diri anggota
kelompok, dan secara tradisional terdapat dua metodologi saling bertentangan
yang digunakan oleh para praktisi. Sebagian fasilitator menggunakan struktur
tingkat tinggi dalam kelompok mereka, memberikan latihan dan tugas kepada
kelompok agar mereka melakukan eksplorasi dan terus berkembang.
3. Bentuk - Bentuk Terapi Kelompok
Terapi kelompok terdiri atas beberapa bentuk, sebagian besar berasal dari
tiga jenis terapi individual yaitu: kelompok eksplorasi interpersonal. Kelompok
bimbingan-inspirasi dan terapi berorientasi psikoanalitik.
a.
Kelompok eksplorasi interpersonal
Tujuannya adalah mengembangkan kesadaran diri tentang gaya hubungan
interpersonal melalui umpan balik korektif dari anggota kelompok yang lain.
Pasien diterima dan didukung oleh kerena itu, utuk meningkatkan harga diri,
tipe ini yang paling umum dilakukan.
b.
Kelompok Bimbingan-Inspirasi
Kelompok yang sangat terstruktur, mendukung, dan memaksimalkan nilai
diskusi di dalam kelompok dan persahabatan. Kelompoknya mungkin saja besar,
anggota kelompok dipilih sering kali kerena individu mempunyai problem yang
sama.
c.
Terapi Berorientasi Psikoanalitik
Suatu teknik kelompok dengan struktur yang longgar, terapis melakukan
interprestasi tentang konflik yang
disadari pasien dan memprosesnya
dari observasi interaksi antar anggota kelompok.
4. Manfaat Terapi Kelompok
a. Dapat mengidentifikasi masalah bersama orang lain yang memiliki
permasalahan yang sama
b. Dapat membantu klien untuk meningkatkan hubungan interpersonal dengan
klien lain sehingga setiap dari mereka dapat saling mendukung
c. Dapat membantu menghilangkan perasaan-perasaan terisolasi dalam diri
klien
d. Dapat membantu menghilangkan kecemasan-kecemasan yang dirasakan oleh
klien
e.
Dapat mendorong klien untuk membicarakan perasaan-perasaan batinnya
dengan sepenuh hati
f. Dapat membantu klien untuk melepaskan ketegangan dalam diri yang telah
dipendam
g.
Dapat meningkatkan klien untuk berpartisipasi serta bertukar pikiran dan
masalah dengan orang lain.
5. Teknik-Teknik
Terapi Kelompok
Menurut Brammer, Shostrom dan Abrego (1994),
teknik-teknik dalam terapi kelompok adalah sebagai berikut :
a. Psychodrama Techniques
Psikodrama sebagai teknik bermain
peran untuk membantu klien dengan menerapkan adegan dari masalah mereka yang
akan meningkatkan pemahaman mereka tentang konflik mereka. Bermain peran akan
membantu klien memperoleh perspektif yang lebih baik dari diri mereka sendiri
dan orang lain. dapat digunakan, misalnya, untuk berlatih menghadapi situasi
sosial yang sulit klien. Bahkan ketika bisa digunakan dalam situasi kelompok
pekerja yang memenuhi syarat, penekanan harus ditempatkan pada kenyataan bahwa
banyak komplikasi dapat timbul jika tidak dilakukan dengan benar. Bach (1954)
memperingatkan efek traumatis kemungkinan akan tereksternalisasi mengancam
melalui bermain peran.
b. T-Group Techniques
Salah satu kontribusi utama dari Training
(T) kelompok untuk para klien memahami proses pengambilan keputusan mereka
sendiri. Kelompok diberikan daftar 15 barang dan diminta untuk mengurutkan
peringkat barang-barang tersebut dimulai dari hal yang penting bagi mereka
untuk bertahan hidup. Kelompok ini kemudian diminta untuk berdiskusi mengenai
pengalaman mereka, mengeksplorasi pola kepemimpinan, resolusi konflik, dan
proses pengambilan keputusan.
c. Encounter Techniques
Teknik encounter (pertemuan)
dimanfaatkan untuk meningkatkan kesadaran diri. Misalnya, digunakan untuk
memperluas kesadaran sensorik dan kepercayaan interpersonal. Peserta secara
berpasangan diminta untuk memandu pasangan dengan mata tertutup dan menggunakan
tangan untuk mengeksplorasi sambil berjalan. Memandu untuk melindungi
pengikut/pasangannya dari setiap langkah menuju bahaya, seperti pohon, atau
dinding dan membujuk pasangan untuk mengeksplorasi berbagai bau dan tekstur
tanpa menggunakan kata-kata. Kedua pasangan juga bertukar peran, kemudian
mendiskusikan pengalaman mereka. Contoh lain dari latihan encounter
adalah di mana dua mitra duduk kembali ke belakang dan melakukan percakapan.
Pasangannya kemudian memproses pengalaman berbicara tanpa isyarat visual.
d. Behavioral Techniques
Banyak teknik behavior seperti modelling, pelatihan keterampilan,
memecahkan masalah dan relaksasi juga digunakan dalam terapi kelompok.
Misalnya, dalam kelompok pelatihan asertif, peserta dijelaskan situasi di mana
mereka ingin menjadi lebih tegas. Peserta akan mendapatkan ide-ide untuk
bagaimana menangani situasi. Situasi dapat dilatih berulang-ulang sampai
peserta merasa puas dengan kemampuannya untuk berperilaku asertif.
e. Dance and Art Therapy
Teknik ini akan mendorong kesadaran tubuh, gerakan kreatif,
dan interpersonal empati. Anggota kelompok berpasang-pasangan. Satu orang
mengambil peran sebagai pemimpin, dan pengikutnya mencoba untuk menjadi
bayangan cermin dari pemimpin, mengikuti gerakan pemimpin semirip mungkin.
Mematung adalah teknik terapi seni di mana peserta diminta untuk mematung
merupakan representasi dari diri mereka sendiri, keluarga mereka, dunia mereka,
masalah mereka, dan kemudian menceritakan hasil dengan anggota kelompok
lainnya.
REFERENSI
:
Brammer, L. M.
(1994). Therapeutic psychology fndamentals of counseling and psychotherapy.
Fifth Edition. New Jersey: Prentice Hall.
Corey, G. (2009). Teori
dan Praktek Konseling dan Psikoterapi. Bandung: Refika Aditama.
Gunarsa,
S. (1996). Konseling dan Psikoterapi. Jakarta: PT. BPK Gunung Mulia.
Guze, B., Richeimer, S., & Siegel, D.
J. (1997). Buku Saku Psikiatri.
Jakarta: Buku Kedokteran EGC.