1. TERAPI
HUMANISTIK EKSISTENSIALIS
Terapi eksistensial humanistik adalah terapi
yang sesuai dalam memberikan bantuan kepada klien. Karena teori ini mencakup
pengakuan eksistensialisme terhadap kekacauan, keniscayaan, keputusasaan
manusia kedalam dunia tempat dia bertanggung jawab atas dirinya.
Menurut Kartini Kartono dalam kamus psikologinya
mengatakan bahwa terapi eksistensial humanistik adalah salah satu psikoterapi
yang menekankan pengalaman subyektif individual kemauan bebas, serta kemampuan
yang ada untuk menentukan satu arah baru dalam hidup. Sedangkan menurut W.S
Winkel, Terapi Eksistensial Humanistik adalah konseling yang menekankan
implikasi – implikasi dan falsafah hidup dalam menghayati makna kehidupan
manusia di bumi ini. Terapi Eksistensial Humanistik berfokus pada situasi
kehidupan manusia di alam semesta, yang mencakup tanggung jawab pribadi,
kecemasan sebagai unsur dasar dalam kehidupan batin. Usaha untuk menemukan
makna diri kehidupan manusia, keberadaan dalam komunikasi dengan manusia lain,
kematian serta kecenderungan untuk mengembangkan dirinya semaksimal mungkin.
Terapi eksistensial tidak terikat pada salah
seorang pelopor, akan tetapi eksistensial memiliki banyak pengembang, tetapi
yang populer adalah Victor Frankl, Rollo May, irvin Yalom, James Bugental, dan
Medard Boss. Eksistensialisme bersama-sama dengan psikologi humanistik, muncul
untuk merespon dehumanisasi yang timbul sebagai efek samping dari perkembangan
industri dan urbanisasi masyarakat. Pada waktu itu banyak orang membutuhkan
kekuatan untuk mengembalikan sense of humannes disamping untuk
memecahkan masalah-masalah yang berkaitan dengan kebermaknaan hidup, khususnya
yang berkaitan dengan upaya menghadapi kehancuran, isolasi, dan kematian.
A. Konsep Dasar Pandangan Humanistik
Eksistensial Tentang Perilaku atau Kepribadian
Pendekatan
Eksistensial-humanistik berfokus pada diri manusia. Pendekatan ini mengutamakan
suatu sikap yang menekankan pada pemahaman atas manusia. Pendekatan
Eksisteneial-Humanistik dalam konseling menggunakan sistem tehnik-tehnik yang
bertujuan untuk mempengaruhi konseli. Pendekatan terapi eksistensial-humanistik
bukan merupakan terapi tunggal, melainkan suatu pendekatan yang mencakup
terapi-terapi yang berlainan yang kesemuanya berlandaskan konsep-konsep dan
asumsi-asumsi tentang manusia. Konsep-konsep utama pendekatan eksistensial yang
membentuk landasan bagi praktek konseling, yaitu:
a.
Kesadaran
Diri, Manusia memiliki kesanggupan untuk menyadari dirinya sendiri, suatu
kesanggupan yang unik dan nyata yang memungkinkan manusia mampu berpikir
dan memutuskan. Semakin kuat kesadaran diri seorang, maka akan semakin
besar pula kebebasan yang ada pada orang itu. Kesadaran untuk memilih
alternatif-alternatif yakni memutuskan secara bebas didalam kerangka
pembatasnya adalah suatu aspek yang esensial pada manusia.
Kebebasan memilih dan bertindak itu disertai tanggung jawab. Para
ekstensialis menekan manusia bertanggung jawab atas keberadaan dan
nasibnya.
b.
Kebebasan,
tanggung jawab, dan kecemasan. Kesadaran atas kebebasan dan tanggung jawab
bisa menimbulkan kecemasan yang menjadi atribut dasar pada manusia.
Kecemasan ekstensial bisa diakibatkan atas keterbatasannya dan atas
kemungkinan yang tak terhindarkan untuk mati (nonbeing). Kesadaran atas kematian memiliki arti penting bagi
kehidupan individu sekarang, sebab kesasaran tersebut menghadapkan
individu pada kenyataan bahwa dia memiliki waktu yang terbatas untuk
mengaktualkan potensi-potensinya. Dosa ekstensial yang juga merupakan
bagian kondisi manusia. Adalah akibat dari kegagalan individu untuk
benar benar menjadi sesuatu sesuai dengan kemampuannya.
c.
Penciptaan
Makna. Manusia itu unik dalam arti bahwa ia berusaha untuk menentukan
tujuan hidup dan menciptakan nilai-nilai yang akan memberikan makna bagi
kehidupan. Menjadi manusia juga berarti menghadapi kesendirian (manusia
lahir sendirian dan mati sendirian pula). Walaupun pada hakikatnya
sendirian, manusia memiliki kebutuhan untuk berhubungan dengan sesamanya
dalam suatu cara yang bermakna, sebab manusia adalah mahluk rasional.
Kegagalan dalam menciptakan hubungan yang bermakna bisa
menimbulkan kondisi-kondisi isolasi dipersonalisasi, alineasi, kerasingan,
dan kesepian. Manusia juga berusaha untuk mengaktualkan diri yakni
mengungkapkan potensi-potensi manusiawinya. Sampai tarap tertentu, jika
tidak mampu mengaktualkan diri, ia bisa menajdi “sakit”.
B. Unsur-Unsur Terapi Humanistik
Eksistensial
(1)
Tujuan-tujuan
Terapeutik
Tujuan terapi eksistensial adalah
meluaskan kesadaran diri klien, dan karenanya meningkatkan kesanggupan pilihannya,
yakni menjadi bebas dan bertanggung jawab atas arah hidupnya. Terapi
eksistensial juga bertujuan membantu klien agar mampu menghadapi kecemasan
sehubungan dengan tindakan memilih diri dan menerima kenyataan bahwa dirinya
lebih dari sekedar korban kekuatan-kekuatan deterministik di luar dirinya.
(2)
Fungsi
dan Peran Terapis
Tugas utama terapis adalah berusaha
memahami klien sebagai ada dalam-dunia. Menurut Buhler dan Allen,
para ahli psikologi humanistik memiliki orientasi bersama yang mencakup
hal-hal berikut:
a. Mengakui pentingnya pendekatan dari
pribadi ke pribadi.
b.
Menyadari
peran dari tanggung jawab terapis.
c.
Mengakui
sifat timbal balik dari hubungan terapeutik.
d.
Berorientasi
pada pertumbuhan.
e.
Menekankan
keharusan terapis terlibat dengan klien sebagai suatu pribadi yang
menyeluruh.
f.
Mengakui
bahwa putusan-ptusan dan pilihan-pilihan akhir terletak di tengan klien.
g.
Memandang
terapis sebagai model, dalam arti bahwa terapis dengan gaya hidup dan pandangan
humanistiknya tentang manusia bisa secara implisit menunjukkan kepada klien
potensi bagi tindakan kreatif dan positif.
h.
Mengakui
kebebasan klien untuk mengungkapkan pandangan dan untuk mengembangkan
tujuan-tujuan dan nilainya sendiri.
i.
Bekerja
ke arah mengurangi kebergantungan klien serta meningkatkan kebebasan klien.
C. Teknik-Teknik
Terapi Humanistik Eksistensial
Yang
paling dipedulikan oleh konselor eksistensial adalah memahami dunia subyektif
si klien agar bisa menolongnya untuk bisa sampai pada pemahaman dan pilihan-pilihan baru. Fokusnya adalah pada situasi hidup klien
pada saat itu, dan bukan pada menolong klien agar bisa sembuh dari situasi masa
lalu (May &Yalom, 1989). Biasaya terapis eksistensial menggunakan metode
yang mencakup ruang yang cukup luas, bervariasi bukan saja dari klien ke klien,
tetapi juga dengan klien yang sama dalam tahap yang berbeda dari proses
terapeutik. Tidak ada perangkat teknik yang dikhususkan atau dianggap esensial
(Fischer & Fischer, 1983). Di sisi lain, beberapa orang eksistensialis
mengesampingkan teknik, karena mereka lihat itu semua memberi kesan kekakuan,
rutinitas, dan manipulasi.
Sepanjang
proses terapeutik, kedudukan teknik adalah nomor dua dalam hal menciptakan
hubungan yang akan bisa membuat konselor bisa secara efektif menantang dan
memahami klien. Teknik-teknik yang digunakan dalam konseling
eksistensial-humanistik, yaitu Penerimaan, Rasa Hormat, Memahami, Menentramkan,
Memberi Dorongan, Pertanyaan Terbatas, Memantulkan
Pernyataan dan Perasaan Klien, Menunjukan Sikap yang Mencerminkan Ikut Merasakan
Apa yang Dirasakan Klien, Bersikap Mengijinkan Untuk Apa Saja yang Bermakna.
2. PERSON-CENTERED THERAPY (ROGERS)
Carl
Rogers adalah psikolog humanistik kebangsaan Amerika yang berfokus pada
hubungan terapeutik dan mengembangkan metode baru terapi berpusat pada klien.
Rogers adalah salah satu individu yang pertama kali menggunakan istilah klien
bukan pasien. Carl R. Rogers mengembangkan terapi client centered atau person
centered sebagai reaksi terhadap apa yang disebutnya keterbatasan-
keterbatasan mendasar dari psikoanalisis.
Terapi
berpusat pada klien berfokus pada peran klien, bukan ahli terapi, sebagai
proses kunci penyembuhan. Rogers yakin bahwa setiap orang menjalani hidup di
dunia secara berbeda dan mengetahui pengalaman terbaiknya. Menurut Rogers,
klien benar – benar “berupaya untuk sembuh” dan dalam hubungan ahli terapi –
klien yang suportif dan saling menghargai, klien dapat menyembuhkan dirinya
sendiri. Hal ini
memberikan pengertian bahwa klien dipandang sebagai partner dan konselor hanya
sebagai pendorong dan pencipta situasi yang memungkinkan klien untuk bisa
berkembang sendiri.
A. Konsep
Dasar Pandangan Carl Rogers tentang Perilaku atau Kepribadian
Manusia merupakan makhluk
sosial dimana keberadaan setiap manusia ingin dihargai, dan diakui
keberadaannya serta mendapatkan penghargaan yang positif dari orang lain dan
rasa kasih saying adalah kebutuhan jiwa yang paling mendasar dan pokok dalam hidup
manusia. Pandangan person/client centered
tentang sifat manusia menolak konsep tentang kecenderungan – kecenderungan
negatif dasar.
Kepribadian
menurut Rogers merupakan hasil dari interaksi yang terus- menerus antara organism, self, dan medan fenomenal.
Untuk memahami perkembangan kepribadian perlu dibahas tentang dinamika
kepribadian sebagai berikut:
(1)
Kecenderungan Mengaktualisasi.
Rogers
beranggapan bahwa organism manusia adalah unik dan memiliki kemampuan untuk
mengarahkan, mengatur, mengontrol dirinya dan mengembangkan potensinya.
(2)
Penghargaan Positif Dari Orang Lain
Self berkembang
dari interaksi yang dilakukan organism
dengan realitas lingkungannya, dan hasil interaksi ini menjadi pengalaman bagi individu.
Lingkungan social yang sangat berpengaruh adalah orang- orang yang bermakna
baginya, seperti orang tua atau terdekat lainnya. Seseorang akan berkembang
secara positif jika dalam berinteraksi itu mendapatkan penghargaan, penerimaan,
dan cinta dari orang lain.
(3)
Person yang
Berfungsi Utuh
Individu
yang terpenuhi kekbutuhannya, yaitu memperoleh penghargaan positif tanpa syarat
dan mengalami penghargaan diri, akan dapat mencapai kondisi yang kongruensi
antara self dan pengalamannya, pada akhirnya dia akan dapat mencapai
penyesuaian psikologis secara baik.
B. Unsur-Unsur
Person Centered Therapy
(1)
Munculnya
Masalah atau Gangguan : Apabila kodrat alamiah organismik yang potensial
seperti sifat konstruktif, realistik, progresif, dapat dipercayai, dan
potensial untuk berkembang tidak dihalangi maka aka berkembang sepenuhnya
sehingga mampu berfungsi sebagai fully human being. Sedangkan yang tidak
berkembang maka hidupnya tidak selaras dengan kodrat alamiahnya.
(2)
Tujuan
Terapi : Mengembangkan klien kepada kehidupan perasaan dan mendorongnya
untuk menemukan feeling-selfnya yang asli. Membantu klien agar mampu
membiarkan kehidupan perasaannya tanpa halangan dan dapat mensimbolisasikan
pengalamannya dalam sebuah konsep diri yang lebih memadai.
(3)
Peran
Terapis : Peran utama terapis adalah membantu menyesuaikan konsep diri
klien dengan seluruh pengalamannya agar pengalaman tersebut tidak dialami
sebagai ancaman terhadap konsep dirinya, tetapi sebagai suatu yang dapat
diintergrasikan dalam sebuah konsep diri yang luas.
C. Teknik-Teknik Person Centered Therapy
Untuk terapis person – centered, kualitas
hubungan terapis jauh lebih penting daripada teknik. Rogers, percaya bahwa ada
tiga kondisi yang perlu dan sudah cukup terapi, yaitu :
a. Empathy. Empati adalah kemampuan terapis untuk merasakan
bersama dengan klien dan menyampaikan pemahaman ini kembali kepada mereka.
Empati adalah usaha untuk berpikir bersama dan bukan berpikir tentang atau
mereka. Rogers mengatakan bahwa penelitian yang ada makin menunjukkan bahwa
empati dalam suatu hubungan mungkin adalah faktor yang paling berpengaruh dan
sudah pasti merupakan salah satu faktor yang membawa perubahan dan pembelajaran
b.
Positive Regard (acceptance). Positive Regard yang di kenal juga sebagai
akseptansi adalah genuine caring yang mendalam untuk klien
sebagai pribadi sangat menghargai klien karena keberadaannya.
c.
Congruence. Congruence / Kongruensi adalah
kondisi transparan dalam hubungan tarapeutik dengan tidak memakai topeng atau
pulasan – pulasan. Menurut Rogers perubahan kepribadian yang positif dan signifikan
hanya bisa terjadi di dalam suatu hubungan.
3.
LOGOTERAPI
(VICTOR FRANKL)
Teori
dan terapi Viktor Frankl lahir dari pengalamannya selama menjadi tawanan di
kamp konsentrasi Nazi. Di sana, ia menyaksikan banyak orang yang mampu bertahan
hidup atau mati di tengah siksaan. Hingga akhirnya dia menganggap bahwa mereka
yang tetap berharap bisa bersatu dengan orang-orang yang dicintai, punya urusan
yang harus diselesaikan di masa depan, punya keyakinan kuat, memiliki
kesempatan lebih banyak daripada yang kehilangan harapan.
Frankl
menamakan terapinya dengan logoterapi, dari kata Yunani, “logos”, yang berarti pelajaran, kata, ruh, Tuhan atau makna. Frankl
menekankan pada makna sebagai pegertian logos. Bila Freud dan Addler menekankan
pada kehendak pada kesenangan sebagai sumber dorongan. Maka, Frankl menekankan
kehendak untuk makna sebagai sumber utama motivasi.
Logoterapi
percaya bahwa perjuangan untuk menemukan makna hidup dalam hidup seseorang
merupakan motivator utama orang tersebut. Logoterapi berusaha membuat pasien
menyadari tanggungjawab dirinya dan memberinya kesempatan untuk memilih, untuk
apa, atau kepada siapa dia merasa bertanggungjawab. Logoterapi tidak menggurui
atau berkotbah melainkan pasien sendiri yang harus memutuskan apakah tugas
hidupnya bertanggung jawab terhadap masyarakat, atau terhadap hati nuraninya
sendiri.
A. Konsep
Dasar Pandangan Frankl tentang Perilaku atau Kepribadian
Menurut Frankl logoterapi memiliki wawasan mengenai manusia
yang berlandaskan tiga pilar filosofis yang satu dengan lainya erat hubunganya
dan saling menunjang yaitu:
(1)
Kebebasan
berkehendak (Freedom of Will). Dalam pandangan logoterapi, manusia adalah
mahluk yang istimewa karena mempunyai kebebasan. Kebebasan disini bukanlah
kebebasan yang mutlak, tetapi kebebasan yang bertanggungjawab. Kebebasan
manusia bukanlah kebebasan dari (freedom
from) kondisi-kondisi biologis, psikologis dan sosiokultural tetapi lebih
kepada kebebasan untuk mengambil sikap (freedom
to take a stand) atas kondisi-kondisi tersebut. Kelebihan manusia yang lain
adalah kemampuan untuk mengambil jarak (to
detach) terhadap kondisi di luar dirinya, bahkan manusia juga mempunyai
kemampuan-kemampuan mengambil jarak terhadap dirinya sendiri (self detachment). Kemampuan-kemampuan
inilah yang kemudian membuat manusia disebut sebagai “the self deteming being” yang berarti manusia mempunyai kebebasan
untuk menentukan sendiri apa yang dianggap penting dalam hidupnya.
(2)
Kehendak
Hidup Bermakna (The Will to Meaning).
Menurut Frankl, motivasi hidup manusia yang utama adalah mencari makna. Menurut
logoterapi bahwa kesenagan adalah efek dari pemenuhan makna, sedangkan
kekuasaan merupakan prasyarat bagi pemenuhan makna itu. Mengenal makna itu
sendiri menurut Frankl bersifat menarik (to
pull) dan menawari (to offer) bukannya
mendorong (to push). Karena sifatnya
menarik itu maka individu termotivasi untuk memenuhinya agar ia menjadi
individu yang bermakna dengan berbagai kegiatan yang sarat dengan makna.
(3)
Makna
Hidup (The Meaning Of Life). Makna
hidup adalah sesuatu yang dianggap penting, benar dan didambakan serta
memberikan nilai khusus bagi seseorang. Untuk tujuan praktis makna hidup
dianggap identik dengan tujuan hidup. Makna hidup bisa berbeda antara manusia
satu dengan yang lainya dan berbeda setiap hari, bahkan setiap jam. Karena itu,
yang penting bukan makna hidup secara umum, melainkan makna khusus dari hidup
seseorang pada suatu saat tertentu. Setiap manusia memiliki pekerjaan dan misi
untuk menyelesaikan tugas khusus. Dalam kaitan dengan tugas tersebut dia tidak
bisa digantikan dan hidupnya tidak bisa diulang. Karena itu, manusia memiliki
tugas yang unik dan kesempatan unik untuk menyelesaikan tugasnya (Frankl,
2004).
B.
Unsur-Unsur
Logoterapi
(1)
Tujuan
Logoterapi
Agar dalam masalah yang dihadapi
klien dia bisa menemukan makna dari penderitaan dan kehidupan serta cinta.
Dengan penemuan itu klien akan dapat membantu dirinya sehingga bebas dari
masalah tersebut.
(2)
Fungsi
dan Peran Terapis
a. Menjaga hubungan yang akrab dan
pemisahan ilmiah
b. Mengendalikan filsafat pribadi
c. Terapis bukan guru atau pengkhotbah
d. Memberi makna lagi pada hidup
e. Memberi makna lagi pada penderitaan
f. Menekankan makna kerja
C. Teknik-Teknik
dalam Logoterapi
(1)
Persuasif
Salah satu teknik yang digunakan dalam logoterapi adalah
teknik persuasif, yaitu membantu klien untuk mengambil sikap yang lebih
konstruktif dalam menghadapi kesulitannya.
(2)
Paradoxical-intention
Paradoxical
intention pada dasarnya memanfaatkan
kemampuan mengambil jarak (self-detachment)
dan kemampuan mengambil sikap terhadap kondisi diri sendiri dan lingkungan.
(3)
De-reflection
Teknik logoterapi lain adalah “de-reflection”, yaitu memanfaatkan kemampuan transendensi diri (self-transcendence) yang dimiliki setiap
manusia dewasa. Setiap manusia dewasa memiliki kemampuan untuk membebaskan diri
dan tidak lagi memperhatikan kondisi yang tidak nyaman, tetapi mampu
mengalihkan dan mencurahkan perhatiannya kepada hal-hal yang positif dan
bermanfaat. Di sini klien
pertama-tama dibantu untuk menyadari kemampuan atau potensinya yang tidak
digunakan atau terlupakan. Ini merupakan suatu jenis daya penarik terhadap
nilai-nilai pasien yang terpendam. Sekali kemampuan tersebut dapat diungkapkan
dalam proses konseling maka akan muncul suatu perasaan unik, berguna dan
berharga dari dalam diri klien.
(4)
Bimbingan Rohani
Bimbingan
rohani merupakan salah satu teknik logoterapi yang mula-mula banyak diterapkan
dalam dunia medis, khusunya untuk kasus-kasus somatogenik. Tetapi dalam perkembangan
selanjutnya, prinsip-prinsip ini diamalkan juga oleh profesi lain dalam
kasus-kasus tragis non-medis yang tak dapat dihindari lagi. Pendekatan ini memanfaatkan
kemampuan insani untuk mengambil sikap terhadap keadaan diri sendiri dan
keadaan lingkungan yang tak mungkin diubah lagi. Bimbingan rohani kiranya dapat
dilihat sebagai ciri paling menonjol dari logoterapi sebagai psikoterapi
berwawasan spiritual. Sebab, bimbingan rohani merupakan metode yang secara eksklusif
diarahkan pada unsur rohani atau roh, dengan sasaran penemuan makna oleh
individu atau klien melalui realisasi nilai-nilai bersikap. Jelasnya, bimbingan
rohani merupakan metode yang khusus digunakan pada penangan kasus dimana individu
dalam penderitaan karena penyakit yang tidak bisa disembuhkan atau nasib buruk
yang tidak mampu lagi untuk berbuat selain menghadapi penderitaan itu. Melalui
bimbingan rohani, individu yang menderita didorong ke arah merealisasi
nilai-nilai bersikap, menunjukkan sikap positif terhadap penderitaannya,
sehingga ia bisa menemukan makna dibalik penderitaannya.
REFERENSI :
Corey, G. (2007). Teori dan Praktek Konseling dan
Psikoterapi. Bandung: PT. Refika Aditama.
http://library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/12/jtptiain-gdl-s1-2005-bakhtiyarz-565-Bab3_110-2.pdf
https://www.scribd.com/doc/103040721/LOGOTERAPI